Sabtu, 08 September 2012

Manajemen Stress di Tempat Kerja


Stress didefinisikan sebagai suatu respons penyesuaian seseorang terhadap situasi yang dipersepsinya menantang atau mengancam kesejahteraan orang bersangkutan. Lalu bagaimana mengatasi stress di tempat kerja? Berikut tulisan yang bisa saya sampaikan. SEMOGA BERMANFAAT!!



Stress is an adaptive response to a situation that is perceived as challenging or threatening to the person’s well-being .

Jadi stress merupakan suatu respon fisiologik ataupun perilaku terhadap ‘stressor ‘ hal yang dipandang sebagai menyebabkan cekaman, gangguan keseimbangan (homeostasis), baik internal maupun eksternal. Dalam pengertian ini, bisa kita perjelas bahwa stress bersifat subjektifm sesuai perspsi orang yang memandangnya. Dengan perkataan lain apa yang mencekam bagi seseorang belum tentu dipersepsi mencekam bagi orang lain. Di sisi lain, ‘stressor’ adalah sumber yang dipersepsi seseorang atau sekelompok orang memberi tekanan/cekaman terhadap keseimbangan diri mereka.

Ada 3 sumber utama bagi stress, yaitu :
1. Lingkungan ~ lingkungan kehidupan memberi berbagai tuntutan penyesuaian diri
- Cuaca, kebisingan, kepadatan,
- Tekanan waktu, standard prestasi, berbagai ancaman terhadap rasa aman dan harga diri
- Tuntutan hubungan antar pribadi, penyesuaian diri dengan teman, pasangan, dan keluarga
2. Fisiologik ~ sumber stress berasal dari tubuh kita
-Perubahan kondisi tubuh: masa remaja; haid, hamil, meno/andropause, proses menua, kecelakaan, kurang gizi, kurang tidur, tekanan terhadap tubuh
-Reaksi tubuh : reaksi terhadap ancaman & perubahan lingkungan mengakibatkan perubahan pada tubuh kita, menimbulkan stress.
3. Pikiran kita ~ pemaknaan diri dan lingkungan
Pikiran menginterpretasi dan menerjemahkan pengalaman perubahan dan menentukan
kapan menekan tombol panik. Bagaimana kita memberi makna/label pada
pengalaman dan antisipasi ke depan, bisa membuat kita relax atau stress.

Menurut Selye (1984) , stress bisa dibedakan atas dasar sifat stressornya, apakah peristiwa negative, disebut ’distress’; tetapi bisa juga stress diakibatkan peristiwa positif, misalnya tiba-tiba mendengar mendapat undian, atau hadiah besar yang tak terduga, dalam hal ini stressnya disebut ‘Eustress’
Sumber stressor tersebut bisa dibedakan dalam 3 bagian berdasarkan peluang penanganannya, yakni : Pertama, Stressor yang penanganannya hanya membutuhkan sedikit upaya seperti misalnya kebiasaan belajar; waktu bangun pagi, diet, dll dimana upaya menanganinya dengan cara memgubah kebiasaan, membiasakan kebiasaan baru, maka dalam waktu satu-dua minggu dapat berubah. Kedua, Stressor yang untuk menanganinya membutuhkan upaya yang lebih sungguh-sungguh, seperti contohnya soal kepercayaan diri, persoalan hubungan,dst, dimana diperlukan bantuan teknikal untuk menanganinya, seperti ‘percakapan kalbu’, skill komunikasi, manajemen konflik, dst. Ketiga, stressor yang memang tidak dapat ditangani sepeti kematian orang yang dikasihi. Maka penanganannya,
perlu belajar berdamai dengan diri menerima kenyataan tersebut, lalu diatasi dengan relaksasi, dan upaya spiritual.


Dampak stress di lingkungan kerja dibedakan dalam 3 kategori:
1.      Dampak Fisiologik :
Secara umum karyawan yang mengalami stress mengalami sejumlah gangguan fisik seperti: mudah masuk angin, mudah pening-pening, kejang otot (kram), mengalami kegemukan atau menjadi kurus yang tidak dapat dijelaskan, juga bisa menderita penyakit yang lebih serius seperti cardiovasculer, hypertensi, dst.
2.      Dampak Psikologik:
·   Keletihan emosi, jenuh, penghayatan ini merupakan tanda pertama dan punya peran sentral bagi terjadinya ‘burn out’ di lingkungan pekerjaan.
·   Terjadi ‘depersonalisasi’ ; Dalam keadaan stress berkepanjangan, seiring dengan kewalahan /keletihan emosi, karyawan memiliki kecenderungan untuk memperlakuan orang lain sebagai ‘sesuatu’ daripada ‘seseorang’
·   Pencapaian kerja karyawan menurun, sehingga berakibat pula menurunnya rasa kompeten & semangat kesuksesan
3.      Dampak Perilaku
·         Manakala stress menjadi distress, kemampuan bekerja menurun dan sering terjadi tingkah laku yang tidak berterima oleh masyarakat
·         Level stress yang cukup tinggi berdampak negatif pada kemampuan mengingat informasi, mengambil keputusan, mengambil langkah tepat.
·         Karyawan yang ‘over-stressed’ atau stress berat seringkali banyak membolos atau tidak masuk kerja dalam waktu yang lama.

Setiap karyawan potensial untuk mengalami stress. Namun demikian, ada kelompok yang lebih mudah terkena stress (type kepribadian A), ada juga kelompok lain yang lebih memiliki ketahanan terhadap stress (type kepribadian B). Di kalangan karyawan, faktor yang seringkali menjadi sumber stressor antara lain sebagai berikut: tuntutan untuk sukses, persoalan finansial, persoalan relasi/hubungan, persoalan penggunaan/manajemen waktu dan pergeseran nilai-nilai.
Ada sejumlah gejala stress yang bisa dideteksi secara mudah yaitu :
(a) gejala fisiologik , antara lain :
denyut jantung bertambah cepat , banyak berkeringat (terutama keringat dingin), pernafasan terganggu, otot terasa tegang, sering ingin buang air kecil, sulit tidur, gangguan lambung, dst
(b) gejala psikologik , antara lain :
resah, sering merasa bingung, sulit berkonsentrasi, sulit mengambil keputusan, tidak enak perasaan, atau perasaan kewalahan ( exhausted) dsb
(c ) gejala tingkah laku, antara lain :
berbicara cepat sekali, menggigit kuku, menggoyang-goyangkan kaki, gemetaran, perubahan nafsu makan ( bertambah atau berkurang).

Untuk mencegah mengalami stress, setidaknya ada 3 lapis strategi pencegahan :
Lapis pertama (primary prevention), dengan cara merubah cara kita melakukan sesuatu. Untuk keperluan ini kita perlu memiliki skills yang relevan, misalnya: skill mengatur waktu, skill menyalurkan, skill mendelegasikan, skill mengorganisasikan, menata, dst.
Lapis kedua (Secondary prevention), strateginya kita menyiapkan diri menghadapi stressor, dengan cara exercise, diet, rekreasi, istirahat , meditasi, dst.
Lapis ketiga (Tertiary prevention), strateginya kita menangani dampak stress yang terlanjur ada, kalau diperlukan meminta bantuan jaringan supportive (social-network) ataupun bantuan profesional.

Beberapa hal utama yang harus diperhatikan karena dapat menyebabkan stress di tempat kerja antara lain:
·         -Kondisi kerja yang selalu berada di bawah tekanan
·        --Ketidakjelasan tugas yang diberikan 
·        - Kurangnya perencanaan kerja
·        - Adanya ancaman di kalangan karyawan (komplain dari para konsumen)
·        - Teman kerja yang selalu mengganggu
Ketidaknyamanan fisik, seperti suara mesin yang ribut, ventilasi yang kurang dan lain sebagainya juga dapat mempengaruhi stress karyawan. Hal ini dapat menimbulkan gangguan kesehatan fisik dan mental seperti : depresi, gelisah, gugup, tidak dapat fokus untuk waktu yang lama dan keletihan yang berkepanjangan. Gangguan yang terjadi di lingkungan kerja akan menurunkan kondisi fisik dan mental karyawan.
Dapat kita simpulkan bahwa setiap karyawan bisa mengalami stress, kadangkala stress dalam lingkungan pekerjaan merupakan ‘bumbu’ agar hidup dinamis. Namun apabila terjadi stress yang sering dengan fluktuasi yang besar, maka perlu mendapat perhatian khusus serta lebih serius dalam menanganinya.

Stress pada karyawan dapat mempengaruhi produktivitas dan kinerja karyawan yang akan secara langsung berpengaruh pada tingkat kesuksesan suatu bisnis. Lingkungan yang sehat akan menumbuhkan semangat di lingkungan kerja karyawan dan menjauhkan karyawan terhadap stress. Beberapa cara untuk mengatasi stress di tempat kerja :
1. Rencanakan dengan baik aktivitas anda : apa, mengapa, bagaimana, kapan dan siapa yang bertanggung jawab terhadap tugas-tugas. Penting sekali untuk membuat perencanaan bukan hanya jangka panjang tapi juga jangka pendek (rencana bulanan, rencana harian).
2. Pastinya anda di masa lalu pernah mengalami masalah-masalah di tempat kerja. Coba ingat-ingat kembali adakah cara-cara yang dapat anda gunakan untuk mengatasi masalah yang anda hadapi saat ini.
3. Ikutlah membangun iklim kerja yang menyenangkan, yaitu dengan bersikap terbuka dan berkomunikasi dengan sesama rekan kerja.
4. Pastikan anda mengerti terhadap tugas dan tanggung jawab anda, serta jangan ragu untuk bertanya.
5. Lakukan beberapa kali break untuk beberapa menit selama anda bekerja. Santai dan jangan melakukan apapun. Ambil nafas dalam-dalam.
6. Miliki sikap toleransi kepada sesama rekan kerja. Ingatlah bahwa masing-masing orang adalah pribadi yang unik, sebagai contoh : beberapa orang justru berprestasi lebih baik di bawah tekanan sementara sebagian yang lain membutuhkan waktu lebih banyak untuk menyelesaikan pekerjaannya.
7. Delegasikan sebagian tanggung jawab anda kepada anak buah anda.
8. Pertahankan semangat tim anda, misalnya dengan melakukan perayaan-perayaan kecil, berolahraga atau berekreasi bersama.
9. Sediakan lingkungan kerja yang baik. Minimalkan gangguan-gangguan seperti suara, ventilasi, cahaya dan suhu yang akan mempangaruhi keadaan fisik setiap karyawan.

Selasa, 04 September 2012

The Teacher with Tough Standards: Honesty


Dalam bukunya “Business Ethic” (2006), Jennings menyatakan bahwa etika terdiri dari aturan-aturan yang tidak tertulis. Etika berkembang seiring dengan interaksi antar manusia. Standar etika berbeda dengan standar hukum. Standar etika akan menciptakan aturan yang akan diterima oleh masyarakat. Standar etika dapat berwujud  perilaku dan perbuatan. Oleh karena itu, standar etika dinilai lebih tinggi dari standar hukum karena tidak sekedar hukuman yang diterima melainkan penilaian dari masyarakat. Kasus “The Teacher with Tough Standards: Honesty” menunjukkan sebuah perbuatan yang tidak sesuai dengan standar etika yaitu plagiarisme. Plagiarisme menjadi permasalahan tersendiri karena dinilai dapat menurunkan pola piker secara rasional.

Christine Pelton (26) seorang guru Biologi dari Piper High School di Kansas, mengundurkan diri setelah dewan sekolah memutuskan untuk merubah aturan kelas yang dibuatnya. Pelton membuat peraturan di kelas untuk para siswanya mengenai tugas dengan nilai 50% dari total nilai yaitu laporan jenis-jenis tanaman. Laporan tersebut harus dikerjakan sendiri dan tidak boleh mengambil materi dari internet. Apabila ada siswa yang tertangkap mengambil materi dari internet maka nilai tugas tersebut adalah nol (0). Sesuai dengan kutipan Pelton dari New York Times, February 14, 2002 sebagai berikut:

''It's not just biology, you're teaching them a lot more than that,'' Mrs. Pelton, who had planned to resign this spring anyhow to start a home-based day care center, said between television appearances the other day. ''You're teaching them to be honest people, to have integrity, to listen, to be good citizens.

Aturan yang dibuat sendiri oleh Pelton menyebabkan 28 dari 118 siswa tidak lulus akibat dinyatakan melakukan plagiatisme. Akibatnya seluruh wali murid melakukan aksi protes kepada dewan sekolah Piper High School. Sementara itu, dewan sekolah menyatakan belum secara spesifik aturan mengenai plagiarisme namun telah membuat aturan mengenai tindakan mencontek (cheating). Seperti yang ditulis Jodi Wilgoren dalam New York Times berikut:

Piper High's handbook does not mention plagiarism specifically, but says the penalty for cheating, even a first offense, is no credit on the assignment. Administrators are now setting up a committee to handle conflicts over grades and collecting plagiarism policies from other schools.

Setelah aksi protes tersebut, Pelton menyatakan pengunduran dirinya. Para wali murid pun mempertanyakan siapakah yang seharusnya bertanggungjawab atas ketidaklulusan anak-anak mereka. Oleh karena itu, dewan sekolah mendiskusikan kebijakan mengenai plagiarisme. Sementara keputusan dewan sekolah sedang dibuat, beberapa pihak menunjukkan pro dan kontra mengenai peraturan yang dibuat Pelton.


Permasalahan-permasalahan utama dalam kasus ini adalah sebagai berikut:
a.       Isu plagiarisme sebagai suatu standar etika yaitu kejujuran.
b.      Kebebasan akademik suatu lembaga pendidikan dan tenaga pengajarnya.
c.       Apresiasi terhadap anti-plagiarisme.
d.      Kekuatan regulasi (standar hukum) dibandingkan dengan standar etika.

Menurut prinsip-prinsip etis yang dikemukakan Jennings, kasus ini dapat dilandasi dua teori yaitu “Right Theory” dan “Moral Relativism”. Teori hak (right theory) mendasari keputusan yang diambil oleh Mrs.Pelton dalam membuat aturan. Sebagai guru ia berhak membuat aturan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Teori ini juga melandasi aksi protes para wali murid karena mereka merasa berhak menuntut nilai karena anak-anak mereka sudah berusaha keras walaupun dinyatakan bersalah. Sedangkan moral relativism yang menjadikan adanya pro dan kontra dari keputusan yang diambil Mrs.Pelton.

Para siswa di sekolah diharapkan mampu menggunakan daya nalar (power of reasoning). Apabila dilihat dari hal tersebut, tindakan Mrs.Pelton dengan membuat aturan adalah benar. Plagiarisme merupakan bagian dari tindakan kecurangan (cheating) yang melanggar standar etika. Namun demikian, sebaiknya dewan sekolah lebih jelas dalam membuat regulasi sehingga dapat digunakan untuk acuan para tenaga pengajarnya. Dengan adanya regulasi (standar hukum) yang jelas maka standar etika dapat dilaksanakan dengan baik.

Sabtu, 01 September 2012

Feminism in Workforce Diversity



In earlier time, women have no position in any field. Women possessed no right and treated as puppets in the hand of man. Nowadays, women’s position and status have come up. They are stepping out on equal footing. It has led to reconsideration of women’s role in workplace. The changes result policies in equal pay and equal opportunities. It is challenging perceptions of women skills, not only enter traditional areas of female employment, but also nontraditional areas such as construction industry. The organizational behavior is also influenced by women’s role in workplace.

Feminism pays special attention to women’s right and position in culture and society. In earlier time, the society had been overtaken by patriarchal culture that men were kept in dominant and women were kept in subordination. The women have to obey their husband and have no right to speak. At first, feminism was concerned in equal legal status, but later feminism began to call for better education, right to vote, and employment opportunities.
The diversity refers to the board mixture of items, objects, or people that are characterized by difference and similarities. In the workplace, we refer to this variation with such terms as “cultural diversity”, “workforce diversity”, and “cultural variety” (Moorhead, 2000). Workforce diversity was derived from several dimensions that shaped by similarities and differences of individual characteristic. Gender is one of the dimensions of diversity which often happens in workplace.
The issue of workforce diversity has become essential as managers realized that composition of the workforce affects organizational productivity. Managers have to deal simultaneously with similarities and differences among people in organization (Banker’s Digest, 1987, p.8). This is very important for managers and companies since the issues will affect on creating new policy of company.
This paper is going to look how feminism impact women’s role in workplace. The impact will be examined as one of dimension in workforce diversity. This paper will be divided into three parts. The first part is the main concept of Feminism. It will summarize the history of feminism movement and the transformation of women inequality into equality in workplace. The next part will be discussing about the value of workforce diversity. There will be a brief resume about the definition of workforce diversity. Finally, the impact of feminism in workforce diversity will be discussed in the third part. The real examples of women’s role in workplace will explain in this part. This paper will be closed by a conclusion and suggestion from the writer for further study in the future.

Main Concept of Feminism

Motherhood and the ideas about femininity that go with it are still handicaps for women in the workplace and the political arena: occupational choice, opportunity, and salaries are still determined by sex and reproduction (Kaminer, 1990). Many women have no freedom and no right in the family, society, and the workplace. The form of masculinity that men are a leader influenced culture in society belief.
In the 1960s and 1970s feminism seems to be frightening since women did their action in equality when they have no choice in social life. Women were socialized to fulfill subordinate roles that culture assigned to them and not only follow their nature. In 1980s, women were challenged by sexual difference as a matter of public policy. The irony of the feminist is that the separated women’s world created by discrimination and traditional divisions of labor has always been a source of strength (Kaminer, 1990).

 The Value of Workforce Diversity

Workforce diversity is the similarities and differences in such characteristic as age, gender, ethnic heritage, physical abilities and disabilities, race, and sexual orientation among the employees of organization (Moorhead, 2000). In the 21st century, workforce diversity has become very important in business concern. Many companies diversify their workforce as a social responsibilities, economic payback, legal requirement, marketing strategy, business communication strategy, and capacity-building strategy.
Understanding diversity means recognizing and accepting differences as well as valuing the unique perspectives such different can bring to the workplace (Ferrel, 2009). As Taylor H.Cox.Jr., said in his book, “The Multicultural Organization” (1991), there are several benefits to fostering and valuing workforce diversity, including the following:
1.      More productive use of a company’s human resources.
2.      Reduced conflict among employees of different ethnicities, races, religions, and sexual orientation as they learn on each other differences.
3.      More productive working relationship among diverse employees as they learn more about and accept each other.
4.      Increased commitment to and sharing of organizational goals among diverse employees at all organizational levels.
5.      Increased innovation and creativity as diverse employees bring new, unique perspectives to decision-making and problem-solving tasks.
6.      Increased ability to serve the needs of an increasingly diverse customer base.

The Impact of Feminism in Workforce Diversity

Economics necessity and feminist attitude have brought more women’s role in workplace. The number working women in United States is projected to increase through 1990s and to be 63 percents of all women by the year 2000 (Statistical Abstract of US, 1992). In the early 1990s there were only three female CEOs on Fortune 1,000 companies (Marsh, 1991). In twenty of the nation’s largest corporations only 4.8 percent of managers within three levels of CEO were women (Fisher, 1992). This situation shows that women have break the barrier of discrimination in the workplace between men and women.
According to the history, men and women have been socialized into different sex roles. Women were object of sexual desire, emotional, homemakers, and submissive. The male was traditionally aggressive, logical, the breadwinner, and dominant (Steiner, 1994). These traditional attitudes were carried from family and social life into the workplace.
Nowadays, most of companies assumed that women employees should be treated the same as men employees in the workplace. Many case happened in different situations such as women feel uncomfortable in having drink together on a meeting in hotel bar, some golf clubs prohibit women in attending golf meeting, and men sometimes continued a meeting in dirty jokes as informal communication. The increasing number of women in the workforce means the employees with different attitudes, background, and capabilities need to be utilized, possibly in different ways than were the norm in many organizations (Moorhead, 2000).
The impact of feminism in workforce diversity also challenges employees and companies in creating new policy. Some special needs of women are work due to pregnancy and days absent to take care of sick children. The women have to balance their dual roles as mother and employee. This matter makes women’s role in the workplace to be considered, for example some companies built child-care center, flexible scheduling, and job sharing.

In the earlier time, women have no freedom and no right in the family, society, and the workplace. The form of masculinity that men are a leader influenced culture in society belief. In recent time, gender is one of the dimensions of diversity which often happens in workplace. Workforce diversity has become very important in business concern. Workforce diversity was derived from several dimensions that shaped by similarities and differences of individual characteristic. Workforce diversity has several benefits among diverse employees as they learn more about and accept each other.

The impact of feminism in workforce diversity challenges employees and companies in creating new policy. It is also challenging women skills in the workplace as men and women work in equality. For further study in the future, we need to examine what are the new policies of company should be taken in order to workforce diversity especially in gender. It is also important thing to realize that company productivity does not depend on men or women, age, races, but on how much the workforce can do their best part in a company.