Selasa, 04 September 2012

The Teacher with Tough Standards: Honesty


Dalam bukunya “Business Ethic” (2006), Jennings menyatakan bahwa etika terdiri dari aturan-aturan yang tidak tertulis. Etika berkembang seiring dengan interaksi antar manusia. Standar etika berbeda dengan standar hukum. Standar etika akan menciptakan aturan yang akan diterima oleh masyarakat. Standar etika dapat berwujud  perilaku dan perbuatan. Oleh karena itu, standar etika dinilai lebih tinggi dari standar hukum karena tidak sekedar hukuman yang diterima melainkan penilaian dari masyarakat. Kasus “The Teacher with Tough Standards: Honesty” menunjukkan sebuah perbuatan yang tidak sesuai dengan standar etika yaitu plagiarisme. Plagiarisme menjadi permasalahan tersendiri karena dinilai dapat menurunkan pola piker secara rasional.

Christine Pelton (26) seorang guru Biologi dari Piper High School di Kansas, mengundurkan diri setelah dewan sekolah memutuskan untuk merubah aturan kelas yang dibuatnya. Pelton membuat peraturan di kelas untuk para siswanya mengenai tugas dengan nilai 50% dari total nilai yaitu laporan jenis-jenis tanaman. Laporan tersebut harus dikerjakan sendiri dan tidak boleh mengambil materi dari internet. Apabila ada siswa yang tertangkap mengambil materi dari internet maka nilai tugas tersebut adalah nol (0). Sesuai dengan kutipan Pelton dari New York Times, February 14, 2002 sebagai berikut:

''It's not just biology, you're teaching them a lot more than that,'' Mrs. Pelton, who had planned to resign this spring anyhow to start a home-based day care center, said between television appearances the other day. ''You're teaching them to be honest people, to have integrity, to listen, to be good citizens.

Aturan yang dibuat sendiri oleh Pelton menyebabkan 28 dari 118 siswa tidak lulus akibat dinyatakan melakukan plagiatisme. Akibatnya seluruh wali murid melakukan aksi protes kepada dewan sekolah Piper High School. Sementara itu, dewan sekolah menyatakan belum secara spesifik aturan mengenai plagiarisme namun telah membuat aturan mengenai tindakan mencontek (cheating). Seperti yang ditulis Jodi Wilgoren dalam New York Times berikut:

Piper High's handbook does not mention plagiarism specifically, but says the penalty for cheating, even a first offense, is no credit on the assignment. Administrators are now setting up a committee to handle conflicts over grades and collecting plagiarism policies from other schools.

Setelah aksi protes tersebut, Pelton menyatakan pengunduran dirinya. Para wali murid pun mempertanyakan siapakah yang seharusnya bertanggungjawab atas ketidaklulusan anak-anak mereka. Oleh karena itu, dewan sekolah mendiskusikan kebijakan mengenai plagiarisme. Sementara keputusan dewan sekolah sedang dibuat, beberapa pihak menunjukkan pro dan kontra mengenai peraturan yang dibuat Pelton.


Permasalahan-permasalahan utama dalam kasus ini adalah sebagai berikut:
a.       Isu plagiarisme sebagai suatu standar etika yaitu kejujuran.
b.      Kebebasan akademik suatu lembaga pendidikan dan tenaga pengajarnya.
c.       Apresiasi terhadap anti-plagiarisme.
d.      Kekuatan regulasi (standar hukum) dibandingkan dengan standar etika.

Menurut prinsip-prinsip etis yang dikemukakan Jennings, kasus ini dapat dilandasi dua teori yaitu “Right Theory” dan “Moral Relativism”. Teori hak (right theory) mendasari keputusan yang diambil oleh Mrs.Pelton dalam membuat aturan. Sebagai guru ia berhak membuat aturan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Teori ini juga melandasi aksi protes para wali murid karena mereka merasa berhak menuntut nilai karena anak-anak mereka sudah berusaha keras walaupun dinyatakan bersalah. Sedangkan moral relativism yang menjadikan adanya pro dan kontra dari keputusan yang diambil Mrs.Pelton.

Para siswa di sekolah diharapkan mampu menggunakan daya nalar (power of reasoning). Apabila dilihat dari hal tersebut, tindakan Mrs.Pelton dengan membuat aturan adalah benar. Plagiarisme merupakan bagian dari tindakan kecurangan (cheating) yang melanggar standar etika. Namun demikian, sebaiknya dewan sekolah lebih jelas dalam membuat regulasi sehingga dapat digunakan untuk acuan para tenaga pengajarnya. Dengan adanya regulasi (standar hukum) yang jelas maka standar etika dapat dilaksanakan dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar